Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan

Pengertian kementrian luar negeri, perwakilan demokratif dan konsuler

Pengertian Kementrian Luar Negeri
Kementerian Luar Negeri, disingkat Kemlu, (dahulu Departemen Luar Negeri, disingkat Deplu) adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan luar negeri. Kementerian Luar Negeri dipimpin oleh seorang Menteri Luar Negeri (Menlu) yang sejak tanggal 22 Oktober 2009 dijabat oleh Marty Natalegawa dan Wakil Menteri yang dijabat oleh Wardana sejak 19 Oktober 2011.
Kementerian Luar Negeri merupakan salah satu dari tiga kementerian (bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan) yang disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945. Kementerian Luar Negeri tidak dapat diubah atau dibubarkan oleh presiden.
Menteri Luar Negeri secara bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan bertindak sebagai pelaksana tugas kepresidenan jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.

Pengertian Perwakilan Diplomatik
Perwakilan Diplomatik adalah perwakilan yang kegiatannya mewakili negaranya dalam melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara penerima atau suatu organisasi internasional.
Menurut keppres No. 108 Tahun 2003 ttg Organisasi Perwakilan Diplomatik RI di Luar Negeri: Perwakilan diplomatik adalah kedutaan besar RI dan Perutusan Tetap RI yang melakukan kegiatan diplomatik di seluruh wilayah negara penerima dan/atau pada organisasi internasional untuk mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa, negara dan pemerintah RI.

Pengertian Perwakilan Konsuler
Perwakilan Konsuler adalah Konsulat Jenderal RI dan Konsulat RI yang melakukan kegiatan konsuler di wilayah kerja di dalam wilayah negara penerima untuk mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah RI.

Penegakan hukum yang baik

Penegakan Hukum Yang Baik

Kunci utama dalam memahami penegakan hukum yang baik, adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip penegakan hukum yang baik, akan dapat diperoleh tolok-ukur kinerja suatu penegakan hukum. Baik dan tidak baiknya penyelenggaraan penegakan hukum, dapat dinilai apabila pelaksanaannya telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip penegakan hukum yang baik, mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemennya, seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol masyarakat. Oleh karena itu, suatu pelaksanaan penegakan hukum dapat disebut bergaya moral baik, apabila pelaksanaannya memenuhi elemen-elemen prinsip demokrasi tersebut.
Di antara prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemennya tersebut, empat prinsip di antaranya merupakan prasyarat utama yang saling terkait satu sama lain. Dengan kata lain, suatu pelaksanaan penegakan hukum dapat disebut bergaya moral baik, sekurang¬-kurangnya memenuhi empat syarat yang meliputi legitimasi, akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. Pertama, penegakan hukum itu berlegitimasi atau taat asas, sehingga kekurangan dan kelebihannya akan dapat terprediksikan sebelumnya (predictable). Kedua, pelaksana penegakan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban oleh masyarakat (accountable). Ketiga, prosesnya tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi yang dapat mengindikasikan adanya kolusi (transparency). Keempat, prosesnya terbuka untuk mengakomodasi opini kritis masyarakat (participated).

Keempat prasyarat tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri, yang satu lepas dari yang lain. Predictability akan menentukan apakah suatu penegakan hukum, secara kolektif oleh suatu dewan atau secara individual oleh seseorang pejabat, telah dilaksanakan secara rasional, dan secara objektif sebagai bagian dari suatu sistem normatif yang telah dibangun. Dengan demikian kemudian juga benar-benar dapat dimintai pertanggungjawabannya.

Partisipasi masyarakat hanya dapat dipenuhi apabila sesuatu hal sampai batas tertentu telah dilaksanakan secara transparan. Sementara itu, mustahil norma accountability dapat direalisasi apabila kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi tidak dibuka. Begitu halnya, norma transparansi tidak ada gunanya, bila hal itu tidak dimaksudkan untuk memungkinkan partisipasi dan permintaan akuntabilitas masyarakat. Partisipasi masyarakat tidak dapat terlaksana tanpa adanya transparansi. Akuntabilitas sulit terlaksana tanpa pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam proses penegakan hukum. Ketidakjelasan dan ketidaktransparanan dalam proses penegakan hukum, membuat masyarakat selalu diliputi oleh berbagai pertanyaan, apakah memang benar bahwa kepentingan masyarakat selalu diprioritaskan. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering), kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan. (Wignjosoebroto, 2002)

Dengan demikian membangun “penegakan hukum yang baik” sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku para pejabat penegak hukum. Kejujuran adalah hal yang paling penting untuk dikembangkan dalam pembinaan sumber daya insani, karena kejujuran tidak ada modulnya. Kejujuran sangat dipengaruhi oleh keimanan dan integritas seseorang. Sebagai konsekuensi, pemerintah dengan sendirinya dituntut untuk meningkatkan kemampuan sumber daya insaninya sesuai dengan bidang tugasnya, kesejahteraannya, termasuk menentukan sikap dan perilakunya, agar mampu berpikir dengan baik dan benar.

Kondisi hukum peradilan di indonesia saat ini

KONDISI PERADILAN INDONESIA SAAT INI

Hukum ditengah-tengah masyarakat tidak hanya menjadi persoalan hukum. Hukum juga berdimensi ekonomi, sosial, budaya, bahkan juga politik. Harus diakui, dengan ragam persoalan hukum yang terjadi di negri ini, wacana yang dimunculkan seharusnya bagaimana proses hukum baik peradilan, penerapan, maupun penegakan hukum lebih ditekankan menjadi pembelajaran hukum bagi warga negara pada negara yang jelas-jelas menyatakan dirinya sebagai sebuah negara hukum.

Hal yang menonjol dalam paradigma sebuah negara yang berlandaskan hukum adalah pengedepanan keseimbangan tatanan masyarakat melalui penegakan peraturan hukum oleh lembaga peradilan yang bebas, mandiri, dan adil serta konsisten terhadap pelanggarnya. Kebebasan demikian juga harus meliputi kebebasan lembaga peradilan terhadap campur tangan pihak ekstrayuridisiil. Dalam konteks demikian, sesungguhnya kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan asas dan kausa universal.

Dalam perkembanngan negara modern, hampir semua negara mengklaim dirinya negara yang memberikan kebebasan pada lembaga peradilanya untuk menciptakan, menerapkan, ddan menegakan hukumnya. Hanya, pelaksanaanya berbeda kadar disetiap negara. Kekuasaan kehakiman yang bebas tidak dapat dilepaskan dari ide negara hukum. Sebab, gagasan tentang adanya kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum, terutama sejak timbul abad pencerahan didunia barat beberapa abad lalu.

Paradigma positifistik yang bersumber dari garis hukum Eropa Kontinental telah begitu kuat mengilhami hampir sebagian para hakim di Indonesia. Mekanisme perrekrutan hakim yang lebih banyak berkutat pada aspek administratif ketimbang progresivitas iuntelektual dan profesionalitas haklim. Cepat atau lambat akan menyulitkan MA. Dalam jangka panjang putusan-putusan hakim yang penuh kontroversi dan jauh dari rasa keadilan masyarakat akan terus menghiasi institusi MA sebagai benteng terakhir sistem perdailan di Indonesia.

Paradigma yang memberikan peluang besar terhadap berperanya faktor prosedur, formalitas, dan tata cara dalam proses hukum diatas, telah menyebabkan perburuan terhadap keadilan menjadi sangat rumit. Akibatnya, kebenaran yang lahir dalam proses peradilan relatif tidak ditentukan oleh substansi perkara (pakta hukum), tetapi justru lebih ditentukan pada apkah proses sebuah hukum telah memenuhi prosedur dan tata cara peradilan, sehingga seseorang yang secara fakta hukum (substantif) terindikasi kuat bersalah, bisa menjadi tidak bersalah dan dinyatakan bebas ketika proses hukumya agak sedikit menyimpang dari hukum acara atau tata acara hukumnya (prosedural).

Seorang hakim dalam sistem dan hukum peradilan Indonesia memiliki kemandiriran dan kebebasan menjalankan tugasnya. Ketentuan bebas dan mandiri ini dituangkan dalam sistem hukum formal dan hukum positif kita. Ia bebas dalam kasus peradilan dan penjatuhan hukuman. Namun kebebasan ini bukanlah sebebas-bebasnya. Ia juga harus mempertimbangkan hati nuraninya untuk mengadili. Demikian pula selama pemerikasaan, pembuktian, hingga pembacaan putusan perkara, juga terbebas dari kuasa campur tangan pihak ekstrayurididiil.

Memang dalam kenyatanya situasi ideal ini banyak dilanggar. Kiranya tidak mengherankan bila muncul pendapat miring:; singkatan hakim diplesetkan menjadi “hubungi aku kalau ingin menang”; KUHP menjadi “kasih uang habis perkara”.

Semua lembaga peradilan diwilayah negara hukum Indonesia merupakan peradilan negara dan ditetapkan dengan Undanmg-undang. Pemegang kekuasaan tertinggi lembaga peradilan dipegang oleh Mahkamah Agung. Lrmbaga ini setidaknya mempunyai beberapa fungsi strategi dan vital. Fungsi tersebut yaitu:

1.Fungsi Peradilan

dalam fungsi ini MA menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dengan menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diserahkan kepadanya. Ia memutus pada tahap dalam fungsi ini MA menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dengan menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diserahkan kepadanya. Ia memutus pada tahap pertama sekaligus terakhir mengenai perselisihan kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan sederajat, termasuk wewenang pengadilan tinggi yang berlainan. MA juga memiliki kewenangan memutus peradilan banding atas putusan-putusan wasit. Dalam tingkat terakhir, MA memiliki kewenangan memutus perkara terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan lain dalam tingkat terakhir. Kasasi bukan merupakan pemeriksaan tingkat 3, karena dalam tingkat kasasi ini peristiwanya tidak diperiksa lagi, namun lebih pada perspektif sisi hukum dan penerapanya

2.Fungsi .Memimpin Peradilan

MA memimpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum.

3.Fungsi Mengatur

MA secara kelembagaan berhak mengeluarkan aturan yang bersifat mengatur jalanya tata peradilan sejauh tidak ditentukan dalam peraturan perundangan perspektif ini memberikan kewenangan pengaturan bagi MA. Namun pengaturan yang bersifat normatif informatif, dan instruktif ini hanya menyangkut opersaional sistem peradilan, bukan mengenai substansi hukum materiiln.

4.Fungsi MA

MA sebagai lembaga pemberi saran dan pertimbangan hukum bagi pemerintah dan lembaga negara lain apabila diminta, termasuk pertimbangan hukum penerimaan atau penolakan grasi dan upaya hukum lain bagi presiden. Sifat pertimbangan yang diberikan berupa pertimbangan hukum, bukan terhadap materi sengketa atau perkara yang mekanismenya telah jelas ( melalui lembaga perdilan)

5.Fungsi pengawasan dan administratif

fungsi ini secara umum terkait dengan fungsi pembinaan peradilan dan unsur pelaksana peradilan yaitu hakim dan jajaranya.

Pemahaman terhadap ragam fungsi MA dan lembaga peradilan pada umumnya terhadap anak bangsa dinegri ini bukan lagi masalah mendesak. Namun sudah sepatutnya dan seharusnya secara berkesinambungan diupayakan dalam kerangka negara hukum yang dicirikan oleh supremasi hukumnya. Fenomena sosial hukum, sekaligus dengan dimensi pluralnya, harus selalu dikedepankan, mengingat kita harus menyadari bahwa hakim adalah seorang manusia.

Kondisi Hukum di Indonesia

Kondisi Hukum di Indonesia

Semenjak Indonesia merdeka hingga saat ini, sistem hukum di Indonesia mengalami banyak perubahan. Perubahan ini sangat erat kaitannya dengan perubahan sistem politik yang terjadi. Pada masa orde lama, Indonesia menganut sistem politik demokrasi liberal. Demokrasi liberal adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan mayoritas haruslah tidak melanggar hak-hak individu seperti yang tercantum dalam konstitusi. Demokrasi yang dianut pada masa itu adalah demokrasi terpimpin yang cenderung otoriter. Akibatnya, sistem hukum yang dianutpun cenderung hukum yang konservatif, yakni suatu sistem hukum yang memberikan kekuasaan yang cukup besar kepada pemimpin dalam membuat produk-produk hukum. Setelah kekuasaan orde lama berakhir, munculah sebuah dinasti baru dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang disebut orde baru. Dinasti baru lahir dengan semangat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945  secara murni. Namun sekali lagi, orde baru melaksanakan kepemimpinan secara otoriter. Sehingga sistem hukum pada masa itu tidak jauh berbeda dengan orde sebelumnya. Pada tahun 1998, Indonesia memasuki era baru setelah mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan. Era Reformasi, begitulah orang Indonesia menyebutnya. Bangsa indonesia memandang bahwa era reformasi ini merupakan saat yang tepat untuk membenahi tatanan kehidupan bangsa. Pembenahan hukum adalah agenda penting dalam era ini. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan amandemen terhadap UUD 45 karena UUD 45 merupakan hukum dasar yang menjadi acuan bernegara dalam segala bidang. Setelah itu, dilakukanlah pembenahan dalam pembuatan perundang-undangan, baik yang mengatur bidang baru maupun penyesuaian peraturan lama dengan tujuan reformasi.

Dewasa ini, kita hidup sebagai bagian dari era reformasi. Pada era ini, sudah berkali-kali terjadi perubahan tampuk kekuasaan. Mulai dari Prof. BJ Habibie yang seorang ilmuwan hingga pemimpin saat ini, SBY, yang merupakan seorang yang berasal dari kalangan militer. Namun bisa dikatakan bahwa mereka semua belum mampu untuk menciptakan sebuah kondisi hukum yang benar-benar adil.

Saat ini, kita masih seringkali mendengar kabar tentang bagaimana seorang rakyat kecil “dijauhkan” dari keadilan hukum yang seharusnya mereka dapatkan. Prita misalnya, seorang terpidana kasus dugaan pencemaran nama baik Rs. Omni Internasional. Ada kejanggalan dalam putusan kasasi Mahkamah Agung dalam kasus ini. Dimana adanya pertentangan antara putusan kasasi pidana dan perdata Prita. Dalam putusan perdata, Prita dinyatakan tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik dan dibebaskan dari membayar denda kepada Rs. Omni Internasional. Sementara dalam putusan pidana, Prita justru terbukti bersalah dan divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.

Contoh kasus lainnya adalah yang terjadi baru-baru ini. Pengadilan Negeri Denpasar melakukan eksekusi terhadap sebuah villa milik warga India bernama Kishore Kumar. Kasus ini berawal tahun 2008 saat Rita Prindhanni, istri Kishore, menjaminkan tanah seluas 1.520 meter persegi dan bangunan miliknya The Cozy Villa atas fasiitas kredit senilai Rp. 10,5 miliar dari Bank Swadesi dengan debitur atas nama PT. Ratu Kharisma. Namun beberapa waktu terakhir Rita tidak mampu memenuhi kewajibannya. Kemudian tanpa melalui prosedur  dan ketentuan BI, Bank Swadesi langsung memvonis pailit pihak peminjam serta mengeksekusi lahan dan bangunan tersebut.

Contoh kasus diatas cukup untuk menggambarkan tentang kondisi Hukum di Indonesia, khususnya kasus perdata yang menjadi sorotan utama saya dalam tulisan ini. Contoh tersebut hanyalah sebagian kecil dari banyaknya ketidakadilan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum di Indonesia. Ketidakadilan tersebut bukan hanya diakibatkan oleh sistem hukum yang kurang baik tetapi juga diakibatkan oleh mentalitas penegak hukum yang lemah. Para penegak hukum seringkali dengan mudahnya tergoda dengan iming-iming jabatan serta jabatan, Jaksa Cyrus Sinaga misalnya yang menjadi terdakwa atas dugaan melakukan manipulasi terhadap kasus mantan pemimpin KPK, Antasari Azhar.

Jadi bisa dikatakan bahwa kondisi hukum di Indonesia saat ini masih belum berpihak pada keadilan yang hakiki. terbukti dengan adanya perkara-perkara yang vonisnya jauh dari kebenaran.

Artikel tentang korupsi di Indonesia serta cara penanganannya

Artikel tentang korupsi di Indonesia serta cara penanganannya

1.    Korupsi di Indonesia
a.    Pengertian Korupsi
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tenatng korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat keadaan yang busuk, jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, sera penempatan kelurga atau golongan kedalam kedinasan di bawah kekusaan jabatnnya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
2. Korupsi : busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayaakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekusaan untuk kepentingan pribadi).

b.    Ciri-ciri Korupsi
(a) suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan, (b) penipuan terhadap badan pemerintah, (c) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (d) dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu, (e) melibatkan lebih dari satu orang atau pihak, (f) adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain, (g) terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya, (h) adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum, dan (i) menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.
c.    Permasalahan korupsi yang ada di Indonesia
Masalah korupsi tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat, terutama media massa lokal dan nasional. Maraknya korupsi di Indonesia seakan sulit untuk diberantas dan telah menjadi budaya. Pada dasarnya, korupsi adalah suatu pelanggaran hukum yang kini telah menjadi suatu kebiasaan. Berdasarkan data Transparency International Indonesia, kasus korupsi di Indonesia belum teratasi dengan baik. Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 183 negara pada tahun 2011 dalam Indeks Persepsi Korupsi.
Di era demokrasi, korupsi akan mempersulit pencapaian good governance dan pembangunan ekonomi. Terlebih lagi akhir-akhir ini terjadi perebutan kewenangan antara KPK dan Polri. Sebagai institusi yang sama-sama menangani korupsi, seharusnya KPK dan Polri bisa bekerja sama dalam memberantas korupsi. Tumpang tindih kewenangan seharusnya tidak terjadi jika dapat dikoordinasikan secara baik.
Penyebab terjadinya korupsipun bermacam-macam, antara lain masalah ekonomi, yaitu rendahnya penghasilan yang diperoleh jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup dan gaya hidup yang konsumtif, budaya memberi tips (uang pelicin), budaya malu yang rendah, sanksi hukum lemah yang tidak mampu menimbulkan efek jera, penerapan hukum yang tidak konsisten dari institusi penegak hukum, dan kurangnya pengawasan hukum.
Dalam upaya pemberantasan korupsi, diperlukan kerja sama semua pihak maupun semua elemen masyarakat, tidak hanya institusi terkait saja. Beberapa institusi yang diberi kewenangan untuk memberantas korupsi, antara lain KPK, Kepolisian, Indonesia Corruption Watch (ICW), Kejaksaan. Adanya KPK merupakan salah satu langkah berani pemerintah dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dalam menangani kasus korupsi, yang harus disoroti adalah oknum pelaku dan hukum. Kasus korupsi dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga membawa dampak buruk pada nama instansi hingga pada pemerintah dan negara. Hukum bertujuan untuk mengatur, dan tiap badan di pemerintahan telah memiliki kewenangan hukum sesuai dengan perundangan yang ada. Namun, banyak terjadi tumpang tindih kewenangan yang diakibatkan oleh banyaknya campur tangan politik buruk yang dibawa oleh oknum perorangan maupun instansi.
Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional maka mau tidak mau korupsi harus diberantas, baik dengan cara preventif maupun represif. Penanganan kasus korupsi harus mampu memberikan efek jera agar tidak terulang kembali. Tidak hanya demikian, sebagai warga Indonesia kita wajib memiliki budaya malu yang tinggi agar segala tindakan yang merugikan negara seperti korupsi dapat diminimalisir.
Negara kita adalah negara hukum. Semua warga negara Indonesia memiliki derajat dan perlakuan yang sama di mata hukum. Maka dalam penindakan hukum bagi pelaku korupsi haruslah tidak boleh pilih kasih, baik bagi pejabat ataupun masyarakat kecil. Diperlukan sikap jeli pemerintah dan masyarakat sebagai aktor inti penggerak demokrasi di Indonesia, terutama dalam memilih para pejabat yang akan menjadi wakil rakyat. Tidak hanya itu, semua elemen masyarakat juga berhak mengawasi dan melaporkan kepada institusi terkait jika terindikasi adanya tindak pidana korupsi.

d.    Dampak korupsi
Berkaitan dengan dampak yang diakibatkan dari tindak pidana korupsi, setidaknya terdapat dua konsekuensi. Konsekuensi negatif dari korupsi sistemik terhadap proses demokratisasi dan pembangunan yang berkelanjutan adalah :
a. Korupsi mendelegetimasikan proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang;
b. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaan dan pemilik modal;
c. Korupsi meniadakan sistem promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme;
d. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga menganggu pembangunan yang berkelanjutan;
e. Korupsi mengakibatkan sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.

Korupsi yang sistematik dapat menyebabkan :
a. Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan intensif;
b. Biaya politik oleh penjarahan atau pengangsiran terhadap suatu lembaga publik, dan;
c. Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak

e.    Solusi terbaik memberantas korupsi
1.    Mengerahkan seluruh stakeholder dalam merumuskan visi, misi, tujuan dan indicator terhadap makna Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
2.    Mengerahkan dan mengidentifikasi strategi yang akan mendukung terhadap pemberantasan KKN sebagai payung hukum menyangkut Stick, Carrot, Perbaikan Gaji Pegawai, Sanksi Efek Jera, Pemberhentian Jabatan yang diduga secara nyata melakukan tindak korupsi dsb.
3.    Melaksanakan dan menerapkan seluruh kebijakan yang telah dibuat dengan melaksanakan penegakkan hukum tanpa pilih bulu terhadap setiap pelanggaran KKN dengan aturan hukum yang telah ditentukan dan tegas.
4.    Melaksanakan Evaluasi , Pengendalian dan Pengawasan dengan memberikan atau membuat mekanisme yang dapat memberikan kesempatan kepada kepada Masyarakat, dan pengawasan fungsional lebih independent.

Pokok-Pokok Etika politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

ETIKA POLITIK DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Berbicara tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, manjadi suatu kajian yang menarik bagi penulis. Hal ini karena saat ini Indonesia berada pada era kebabasan berpolitik setelah melampaui masa kelam berpolitik. Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari era otoritarian ke era demokrasi. Dalam masa transisi itu, dilakukan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Namun dalam perjalanannya, tatanan kehidupan politik yang demokratis ini, lambat laun tergerus oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Ini dapat terlihat bagaimana saat ini para elit berkuasa lebih mudah menghalalkan segala cara apapun untuk mewujudkan kepentingannya. Mereka sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai etik dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbicara mengenai etika berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus mengakui bahwa saat ini banyak kalangan elite politik cenderung berpolitik dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa mereka berpolitik dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok, serta tidak mengutamakan kepentingan berbangsa. Hal ini sangat menghawatirkan karena bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu penyerangan pribadi, namun juga politik kekerasan pun terjadi. Para elite politik yang saat ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan tumbuhnya budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka sebagian besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang berbasis primordial sehingga elite politik pun cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku pendukungnya. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya. Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang.
Kurangnya  etika berpolitik sebagaimana prilaku elite di atas merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika serta moral. Politik yang mengedepankan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan. Selain itu kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik seperti ini. Yaitu elite politik yang tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat, namun juga menghasilkan orang-orang yang cenderung otoriter, termasuk politik kekerasan yang semakin berkembang karena perilaku politik dipandu oleh nilai-nilai emosi.

Etika Politik dan Pemerintahan
Etika Politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan. Etika politik mutlak diperlukan bagi perkembangan kehidupan politik. Etika politik merupakan prinsip pedoman dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda pemerintahan yang biasanya dinyatakan dalam konstitusi negara (Dharma Setywan Salam: 2006). Di Indonesia Eika Politik dan Pemerintahan diatur dalam Ketetapan MPR RI No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam Ketetapan tersebut diuraikan bahwa etika kehidupan berbangsa tidak terkecuali kehidupan berpolitik merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Rumusan tentang etika kehidupan berbangsa ini disusun dengan maksud untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
Dalam TAP MPR tersebut juga dinyatakan bahwa Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. Masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah. TAP ini mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk mengamalkan etika kehidupan berbangsa. Untuk berpolitik dengan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara, paling tidak dibutuhkan dua syarat, yaitu Ada kedewasaan untuk dialog dan  Dapat menomorduakan kepentingan pribadi atau kelompok.
Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertatakrama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai dan golongan.

Etika Politik Penguasa dalam Bernegara
Huntington memperingatkan bahwa tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaan pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara  yang bersangkutan. Tantangan bagi konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.
Konsolidasi demokrasi menuntut etika politik yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada pentingnya etika politik pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan etika politik yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya proses demokratisasi tanpa etika politik yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah.
Hidayat Nurhawid menyampaikan bahwa perilaku pemimpin nasional pun, sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan massanya. Karena itu tumbuhnya kedewasaan politik di antara pemimpin nasional sangat dapat menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran serta untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia sendiri. Untuk menyelamatkan bangsa ini mau tak mau pendidikan kewarganegaraan harus semakin dikembangkan. Sebagai contoh adalah melalui pendidikan kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi yaitu pendidikan yang menyadarkan kita terhadap pluralitas dan keberagaman yang tinggi. Pluralitas ini begitu penting dan harus diutamakan.
Berpolitik tanpa kesadaran etika dan moral hanya akan melahirkan krisis kepemimpinan. Karena itu, sekarang yang diharapkan adalah adanya pencerahan dari kembalinya budayawan dan agamawan yang bermoral sehingga kita senantiasa kembali pada etika, moralitas, dan kebhinnekaan. Krisis kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, antara lain karena persoalan etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elite, tanpa peduli dan menyadari bahwa seluruh rakyat kita sedang prihatin menyaksikan kenyataan ini. Kemampuan membangun harmoni, melakukan kompromi dan konsensus di kalangan elite politik kita terkesan sangat rendah, tetapi cepat sekali untuk saling melecehkan dan merendahkan. Padahal untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat diperlukan kompromi dan semangat rekonsiliasi.


Epilog
Politik bukanlah persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh sebagian besar pelaksana money politics di Tanah Air. Politik bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas. Politik lebih dari pragmatisme, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai. Karena itulah, politik lebih dari sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Dalam politik ada keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Apabila kesadaran etika berpolitik sangat rendah maka tantangan yang mungkin kita hadapi kedepan adalah terjadinya feodalisme maupun kapitalisme dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik menjadi raja-raja yang membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan. Tantangan ini harus kita hadapi dengan penuh kesadaran untuk selalu berjuang menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme. Usaha ini sangat ditentukan juga melalui perjuangan partai politik.
Partai politik hendaknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin partai. Partai politik sebagai pilar demokrasi haruslah selalu berinteraksi dengan masyarakat sepanjang tahun. Kegiatan sosial kemasyarakatan merupakan agenda wajib begitu pula sikap cepat tanggap dalam menghadapi musibah dan bencana.
Para elit politik partai pun sudah seharusnya sering terjun menemui konstituen, mendengar aspirasi mereka, dan memperjuangkannya. Partai tidak boleh membuat jarak dengan rakyat. Di sinilah sesungguhnya hakikat dari pendidikan politik yang diterapkan oleh partai politik dan elitenya. Dengan demikian, maka apapun sikap dan kebijakan partai tidak akan terlepas dari kehendak masyarakat konstituennya, dan benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat. Sehingga dapat mencegah kehawatiran bahwa partai hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Kegiatan pencerdasan politik masyarakat harus terus dipupuk oleh partai politik melalui respon terhadap realitas sosial-politik. Selain itu berpolitik hendaknya dilakukan dengan cara yang santun, damai, dan menyejukkan. Kemudian kita juga harus mengembangan sistem multipartai agar kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan saja. Dengan etika berpolitik yang demikian  itulah kita berharap masyarakat madani yang kita cita-citakan dapat segera terwujud.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...